Thursday, May 9, 2013

Cerita Buku : The Proposing Tree (Pohon Lamaran)


Judul Asli : The Proposing Tree
Penulis : James F. Twyman
Tebal : 161 halaman
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta 

Suatu hari, seorang anak lelaki kecil asyik bermain di batang-batang pohon ek tua yang tumbuh di sudut Jalan Nomor Dua dan Jalan Windsor, Los Angeles. Dalam keasyikannya bergelayut di antara batang-batang pohon, tangan kecilnya menemukan ’paket’ terbungkus plastik yang berisi sebuah buku harian yang dijilid dengan jahitan tangan. Judul yang tertulis di sampul buku itu : ”Pohon Lamaran. Oleh Frederick James” Buku itu diberikan si lelaki cilik pada ibunya. Dari buku harian itu mengalirlah kisah cinta sang penulis, Frederick, dan Carolyn. Sebuah kisah tentang pencarian cinta sejati yang penuh liku, sarat akan dinamika cinta sekaligus sangat romantis.

========== ***** ==========

Frederick muda hijrah dari kota asalnya di Peoria, Illionis menuju Los Angeles untuk mencoba mengembangkan bakatnya sebagai penulis. Frederick memulai karirnya dengan menulis essai dan cerita pendek. Dalam waktu 2 tahun ia berhasil mengembangkan karirnya dengan menulis 2 buah buku yang walaupun tidak sukses besar secara komersial tetapi cukup diminati dan mempunyai pembaca setia. Carolyn, seorang bintang yang sedang naik daun di komunitas seni Los Angeles, adalah salah satu dari penggemar fanatik Frederick.

Frederick dan Carolyn bertemu bertama kali pada tahun 1959 di sebuah restoran di sudut Jalan Wilshire dan Normandy. Saat itulah, Frederick merasakan ’cinta pada pandangan pertama’ terhadap Carolyn. ”Aku jatuh cinta padanya seakan-akan belum pernah jatuh cinta sebelumnya” (hal. 21). Mereka berdua menjalin persahabatan yang hangat namun Frederick tetap menyembunyikan perasaan cintanya pada Carolyn.

Tahun 1960, itulah saat pertama kali mereka menemukan sebuah pohon besar yang indah di sudut Jalan Nomor Dua dan Jalan Windsor, ’sebuah pohon ek yang bundar dan kuat dengan cabang-cabang yang berbulu selembut awan, hijau dan rimbun sedangkan bagian bawahnya lebih mirip tiga batang daripada satu batang, saling melilit dan jalin-menjalin satu sama lain sebelum akhirnya sama-sama menyatu sebagai sebuah kehidupan yang besar” (hal. 9). Saat itu, seperti dipenuhi kekuatan magis pohon tua itu, Carolyn berkata kepada Frederick, ”Aku punya mimpi di lamar di bawah pohon ini. Khususnya di hari seperti ini dengan hembusan angin yang lembut dan langit yang biru” (hal. 25).

Carolyn mengajak Frederick untuk berlatih lamaran di bawah pohon yang kemudian mereka beri nama sebagai Pohon Lamaran. Frederick berlatih untuk mengajukan lamaran dan Carolyn berlatih untuk mengatakan ”Ya”. ”Kumohon, lamarlah aku. Aku berjanji akan berpura-pura ini sungguhan, seakan-akan kaulah yan kucari seumur hidupku, seolah-olah kau adalah orang yang akan kuberi hati dan jiwaku selama kita berdua hidup, dan aku berjanji tidak akan tertawa.” (hal. 28). Namun, Carolyn tidak pernah tahu bahwa kata-kata lamaran yang diucapkan Frederick adalah murni ungkapan hatinya yang yang selama ini selalu disembunyikan.
Kekasihku, hatiku dibanjiri perasaan yang tak akan pernah bisa dimengerti pikiranku. Saat kita bertemu aku mati hanya untuk lahir kembali saat kau menggapai dan menyelamatkan hidupku. Setiap saat dalam keanggunanmu seperti kasih sayang sepanjang hidup, dan aku telah sepenuhnya melupakan dunia seperti apa sebelum kau datang. Aku telah melupakan siapa diriku, siapa namaku, atau di mana aku saat tak berada dalam pelukanmu. Sayang, aku tak sanggup melihat ke arah di mana dirimu tiada. Aku mampu tak bergerak sama sekali, tetap diam dengan sempurna hingga kita dipersatukan dalam rangkulan surgawi yang tak mengenal waktu, tak mengenal perpisahan, dan tiada ruang yang ada di antara bentuk-bentuk duniawi ini. Menikahlah denganku, Carolyn. Katakan kau mau menjadi istriku, sekarang dan selamanya. (hal. 29)
Berlatih di bawah Pohon Lamaran menjadi sebuah ritual bagi mereka selama bertahun-tahun. Dan setiap kali Frederick harus mengulang kata-kata yang sama, ia menyembunyikan rasa pedih di hatinya karena Carolyn hanya menggangapnya sebagai bagian dari latihan. ”Paling tidak aku telah mengucapkan kata-kata itu walaupun dia tidak pernah benar-benar mendengarnya.” (hal. 31).

Tiga tahun kemudian, untuk pertama kalinya Frederick mendapat kesempatan untuk mengungkapkan perasaan hatinya kepada Carolyn … ”Kau lihat, terkadang aku lupa bahwa aku tidak sedang jatuh cinta padamu. Terkadang aku lupa bahwa kau tidak akan pernah merasakan cinta yang kurasakan (hal. 43) Sayangnya cinta yang dirasakan Frederick bertepuk sebelah tangan. ”Aku mencintaimu Frederick, tapi kau bukanlah ’Orang yang Tepat’ dan kita berdua tahu itu ..” (hal. 42) Sebuah kesalahpahaman menjadikan pertemuan mereka hari itu berakhir dengan perselisihan yang yang membuat keduanya tidak saling bertemu selama beberapa tahun.

Pertemuan mereka kembali terjadi di malam Natal tiga tahun kemudian, di sebuah toko buku tempat Frederick menggelar tour promosi untuk buku barunya yang menjadi best-seller. Ikatan itu ternyata tidak retak dan persahabatan mereka kembali seperti sedia kala. Dan mereka tetap melanjutkan ritual di bawah Pohon Lamaran. Tapi Frederick tidak lagi membicarakan tentang perasaannya cintanya.

Frederick mengajak Carolyn ikut dalam tour promosi bukunya di London. Dalam sebuah tour promosi buku di sebuah Gereja, Carolyn bertemu dengan Colin Church, seorang bintang rock terkenal. Keduanya langsung menjadi akrab dan jelas bahwa mereka saling jatuh cinta. Meskipun awalnya sempat merasa cemburu, akhirnya Frederick bisa menerima kehdiran Colin bahkan membantunya untuk mendapatkan Carolyn.

Collin akhirnya melamar Carolyn di bawah Pohon Lamaran, persis seperti yang diimpikan Carolyn, dengan Frederick sebagai saksi mereka. Keesokan harinya, Frederick pergi meninggalkan Los Angeles untuk memulai kehidupan baru di New York. ”Saatnya telah tiba bagiku untuk pergi dan memberi mereka saat kemuliaan.” (hal. 103). Persahabatan yang hangat dan akrab tetap terjalin antara Frederick, Carolyn dan Colin.

Tahun 1978, dalam sebuah perjalanan ke Argentina, Frederick bertemu dengan Florencia, perempuan yang menyelamatkannya dari kesedihan akibat patah hati. Perempuan yang ia yakin ditakdirkan untuk menikah dengannya, yang mengisi hatinya dengan kebahagiaan sejati dan mengubah hidupnya selamanya. Frederick berusia 55 tahun ketika akhirnya menemukan cinta yang telah lama ditunggu-tunggu.”Inilah rasanya. Inilah artinya mencintai seorang perempuan yang juga mencintaiku. (hal. 117).

Setelah mengarungi 18 tahun kehidupan pernikahan yanng bahagia, badai datang dalam kehidupan Carolyn bersama dengan berita kematian Colin akibat kecelakaan mobil. Frederick segera terbang ke Los Angeles untuk mendampingi Carolyn mengatasi kesedihannya dan memulihkan diri. Pada saat-saat itulah, Carolyn mulai menyadari perasaan cintanya pada Frederick … ”kau dan aku telah berbicara tentang belahan jiwa selama bertahun-tahun dan sekarang aku menyadari bahwa itulah kita … aku telah mencintaimu seumur hidupku tanpa menyadarinya” (hal. 137). Malam sebelum Frederick kembali ke New York, mereka bertemu kembali di bawah Pohon Lamaran untuk melakukan ritual yang dulu biasa mereka lakukan. Hanya saja kali ini, mereka akan bertukar peran. ”Kaulah yang selalu melamar di sini … dan sekarang aku mmbutuhkanmu untuk mendengarkanku. Aku ingin menukar peran itu, sekali ini saja. Biarlah aku mengutarakan padamu kata-kata yang bisa membebaskan kita berdua. Izinkan aku memandang ke dalam matamu dan memintamu untuk menjadi milikku selamanya.” (hal. 138)

Ketika Carolyn akhirnya mengungkapkan kata-kata cinta yang begitu dirindukan Frederick selama puluhan tahun, perasaannya terombang-ambing antara dua perempuan yang sama-sama sangat dicintainya, Florencia dan Carolyn. Frederick tahu bahwa dirinya tidak akan pernah meninggalkan Florencia tak peduli betapa dalam dirinya mencintai Carolyn. Akhirnya Frederick kembali ke New York, kepada kehidupan bahagianya bersama Florencia, tetapi persahabatannya dengan Carolyn tetap terjalin erat.

Sebuah kejadian di tahun 1999 mengubah kehidupan Fredercik selamanya dan menunjukkan jalan menuju belahan jiwa dan cinta sejatinya. Pada bulan Maret tahun itu, Florencia meninggal akibat kanker payudara. Carolyn datang dari Los Angeles untuk mendampingi dan menghibur Frederick. Setelah beberapa bulan berlalu, Frederick akhirnya memutuskan untuk kembali ke Los Angeles karena tetap tinggal di New York menorehkan banyak kenangan akan saat-saat indah dan bahagianya bersama Florencia. Frederick tidak memberitahukan kedatangannya ke Los Angeles kepada Carolyn tetapi ia tahu Carolyn sudah pindah ke sebuah kondominium yang hanya berjarak beberapa langkah dari Pohon Lamaran.

Empat puluh tahun sudah berlalu sejak pertama kali Frederick dan Carolyn bertemu di restoran di Los Angeles dan begitu banyak yang telah terjadi sejak saat itu yang mendekatkan lalu memisahkan mereka. Malam itu mereka bertemu kembali di bawah Pohon Lamaran untuk menuntaskan sebuah lamaran terakhir. Saat itulah, untuk pertama kalinya mereka berdiri di bawah Pohon Lamaran tetapi tidak untuk saling melamar. Tak sepatah kata mampu terucapkan ketika dua insan meresapi kesadaran dan pemahaman akan cinta sejati.

”Cinta adalah kebajikan yang menakjubkan. Itulah yang kita miliki dan kita butuhkan.”



Monday, May 6, 2013

Cerita buku : Taj Mahal, Kisah Cinta Abadi


Judul Asli : Beneath a Marble Sky 
                 A Novel of Taj Mahal
Penulis : John Shors
Tebal : 457 halaman
Penerbit : Mizan

Kau tahu, Jahanara? hidup dan gairah kemudahan, kekayaan dan kejayaan, semua terseret oleh zaman. Disebabkan oleh kefanaan kau lalu berjuang,untuk membakakan hatimu yang muram biarlah musnah kemewahan rubi, mutiara, dan berlian cukuplah setetes air mata ini, Taj Mahal, yang tersisa kemilau tiada bernoda di pipi waktu, selalu dan selamanya.
======================
Sudah jadi pengetahuan umum bahwa Taj Mahal dibangun Sultan Shah Jahan untuk mengenang permaisurinya, Mumtaz Mahal, yang meninggal saat melahirkan bayinya. Akan tetapi melalui roman fiksi sejarah ini, John Shors mengungkapkan kisah lain di balik pembangunan Taj Mahal dan keindahan arsitektur istana pualam yang menjadi tempat peristirahatan terakhir Permaisuri Mumtaz Mahal. John Shors mengangkat kisah asmara dan perselingkuhan, intrik dan perang saudara dibalik dibalik kejayaan kerajaan Hindustan dan pembangunan Taj Mahal.  Novel ini berlatar belakang kerajaan Hindustan (sekarang bernama India) pada abad 17 dengan segala kemegahanannya.   

Tohoh utama novel ini adalah Putri Jahanara, putri Sultan Shah Jahan dan Mumtaz Mahal, yang sejak kecil dididik ibunya sebagai perempuan yang kuat, cerdas dan mandiri. Jahanara adalah kesayangan ayahnya karena wajahnya yang sangat mirip dengan ibunya. Ia juga sangat dekat dengan kakak laki-lakinya, Pangeran Dara Shikuh, yang kelak merupakan pewaris takhta kerajaan Hindustan. Dari ketiga orang yang sangat dicintai dan dikaguminya itu, Jahanara belajar tentang nilai kemanusiaan. Ayahnya adalah seorang sultan yang tangguh namun berhati lembut. Sultan Shah Jahan berhasil menyatukan umat Muslim dan Hindu untuk hidup berdampingan secara aman dan damai. Shah Jahan begitu mencintai dan menghargai istrinya, Mumtaz Mahal. Dalam mengambil keputusan yang berhubungan dengan kerajaan, tidak jarang beliau meminta pendapat istrinya yang digambarkan sebagai seorang perempuan yang berkarakter kuat dan bijaksana. Begitupula dengan Pangeran Dara  Shikuh, yang selalu berusaha menyatukan umat Muslim dan umat Hindu dalam satu panji persatuan di bawah kepemimpinan Sultan Shah Jahan. Pangeran Dara juga yang mengajak Jahanara untuk melihat langsung kehidupan orang-orang kelas bawah. Jahanara merasakan kehidupan sebagai remaja yang bebas tanpa adanya perbedaan kelas, kasta dan gender.  

Namun, kesedihan mulai mewarnai hidup Jahanara. Ia harus merelakan masa remajanya terenggut oleh sebuah perkawinan politik. Kesedihan kembali menerpa ketika ibu yang selama ini melindunginya, meninggal dunia tatkala melahirkan anaknya yang ke-14, di tenda peperangan saat pasukan Shah Jahan berperang melawan penaklukan orang-orang Deccan. Sultan Shah Jahan mengalami duka besar setelah kematian istrinya, dalam masa berkabungnya urusan kerajaan menjadi terbengkalai. Akan tetapi, tragedi dan duka justru membuat Jahanara menjadi perempuan yang tegar. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan kerajaan di masa depan. Ditambah lagi, Jahanara harus menghadapi  kekejaman adik laki-lakinya yang bernama Aurangzeb yang ambisius. Ia tidak hanya membenci umat Hindu yang dilindungi oleh Sultan Shah Jahan untuk hidup bebas di Hindustan, tetapi juga sangat membenci Jahanara dan Dara. Bagi Aurangzeb, kedua orang inilah yang akan menjadi peghalang keinginannya untuk jadi penguasa kelak. Dalam kamus Aurangzeb hanya ada kata perang dan keinginan membunuh yang begitu besar.

Pada tahun 1632 Shah Jahan memerintahkan pembangunan sebuah istana pualam yang dirancang berdasarkan citra tentang surga dalam Al-Quran, sebagai tempat peristirahatan raga istrinya. Seorang arsitek Persia bernama Isa bertanggung jawab merancang dan mewujudkan Taj Mahal, istana pualam yang menggambarkan kecantikan dan keanggunan Mumtaz Mahal. 

Kehadiran Isa membawa secercah kebahagiaan pada kehidupan Jahanara. Selama ini perkawinannya dengan Ia menemukan cinta sejatinya. Selama ini, perkawinannya dengan Khondamir hanya semata-mata demi alasan politik, tanpa cinta. Dalam diri Isa-lah Jahanara menemukan cinta sejatinya. Jalinan asmara terselubung itu berkembang seiring pembangunan Taj Mahal. Kecantikan Jahanara yang merupakan replika ibunya, Mumtaz Mahal, menjadi inspirasi bagi Isa saat merancang Taj Mahal. Meskipun Ia sangat mencintai Jahanara, akan tetapi dia sadar bahwa jurang pemisah antara dirinya dan Jahanara begitu besar sehingga tak mungkin bagi Isa untuk memiliki Jahanara seutuhnya. Karena itu, ia mengabadikan kecantikan dan keanggunan Jahanara melalui arsitektur dan ornamen-ornamen indah yang menghiasi Taj Mahal.

Konflik dalam kerajaan semakin bertambah ketika Taj Mahal rampung dibangun. Sultan Shah Jahan  mulai sakit-sakitan, ditambah lagi dengan pengkhianatan yang dilakukan putranya, Aurangzeb, yang secara terang-terangan menentang kekuasaan ayahnya. Aurangzeb memanipulasi agama Islam dan Al-Qur’an untuk menumpas lawan-lawan politiknya. Bahkan Ia rela membunuh Pangeran Dara, kakaknya sendiri dan memenjarakan Jahanara dan ayahnya, Shah Jahan. Jahanara terjebak dalam perang saudara untuk memperebutkan tahta kerajaan Hindustan, kesetiaan kepada ayahnya dan cinta terselubungnya dengan Isa yang membantunya untuk tetap tegar.   

Membaca buku setebal 457 halaman ini membuat saya menahan nafas mengikuti alur bercerita yang sangat memikat, melaui sudut pandang Puri Jahanara. Dalam novel ini, selain menuturkan tragedi dan konflik, John Shors dengan indah menceritakan kisah cinta Shah Jahan dan Mumtaz Mahal, serta antara Jahanara dan Isa. Juga deskripsi indah tentang kemegahan dan keanggunan Taj Mahal. Setelah membaca buku ini, saya jadi berpikir : Taj Mahal memang didedikasikan bagi Permaisuri Mumtaz Mahal sebagai bukti cinta suaminya, Sultan Shah Jahan; akan tetapi kemegahan arsitektur dan keindahan ornamennya adalah persembahan cinta sang arsitek, Isa, kepada Putri Jahanara, cinta sejatinya.



Wednesday, May 1, 2013

QUOTES 01.05.2013


BULAN MARIA
Bukankah menakjubkan bahwa kita memiliki seorang Bunda di surga yang memperhatikan kita dengan lembut, yang selalu siap untuk menghibur kita, memperhatikan kebutuhan kita. Seseorang yang kepadanya kita bisa mengadu setiap kali kita terluka atau sedih, seseorang yang kepadanya kita selalu dapat menemukan pengertian dan kasih sayang. Seorang Bunda Surgawi yang memahami sukacita kita, penderitaan kita, dan kebutuhan sejati kita lebih baik dari siapa pun







Turunkan Berat Badan dengan Sarapan Telur

Mengatur pola makan atau diet adalah salah satu cara menurunkan berat badan secara sehat. Salah satu anjuran dalam diet yang benar adalah aturan yang mengharuskan setiap orang untuk sarapan pagi sebelum memulai aktivitas seperti bekerja, sekolah atau yang lainnya. Sarapan ini berfungsi menjadi sumber energi sekaligus memberi rasa kenyang, sehingga kita tidak banyak mengonsumsi camilan dan tidak kalap karena kelaparan ketika jam makan siang datang. Dengan kata lain, sarapan membuat porsi makan siang jadi lebih terkontrol.

Agar berat badan turun, tentu saja menu sarapan juga tidak boleh asal. Menu sarapan pagi yang dianjurkan untuk diet umumnya adalah makanan yang tinggi protein dan kaya serat. Dan salah satu bahan makanan yang paling banyak direkomendasikan adalah telur. Para dokter gizi mengatakan bahwa telur merupakan sumber energi yang baik untuk memulai hari dan aktivitas bagi orang-orang yang ingin langsing atau ingin menurunkan berat badan.


Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh para ahli gizi di Inggris diketahui bahwa dalam sebutir telur terkandung banyak zat gizi yang tak hanya memberi kita energi tapi juga membantu proses pembakaran kalori dan lemak saat makan siang dan makan malam. Apapun bentuk olahan telur untuk sarapan, entah itu telur rebus, telur ceplok ataupun telur dadar, efeknya tetap sama: orang yang makan akan merasa kenyang lebih lama sehingga mereka akan malas mengemil di saat senggang. Bahkan, dikatakan saat makan siang pun porsi orang yang sarapan telur juga akan berkurang.

Kandungan protein dalam sebutir memang jauh lebih baik dibanding dengan sumber protein lainnya. Kandungan protein inilah yang memberi kita rasa kenyang lebih lama. Para responden penelitian menyatakan bahwa sarapan telur memberi efek kenyang yang cukup konsisten. Dengan sarapan telur, penelitian yang sama juga menyatakan bahwa terjadi perubahan dalam hormon orang yang memakan telur yakni hormon yang mengontrol nafsu makan yang berhubungan langsung dengan usu manusia. Hasil-hasil tersebut secara ilmiah menegaskan mengapa sarapan telur bisa membuat kita merasa lebih kenyang. 

Dalam jangka waktu tertentu, secara lebih lanjut penelitian tersebut mejelaskan adanya penurunan berat badan yang cukup signifikan dikalangan orang yangs arapan telur setiap hari dibanding mereka yang sarapan sereal. Yang paling mencolok adalah terjadinya penurunan lingkar pinggang dari orang-orang yang sarapan telur.

Terbukti sudah bahwa telur yang digunakan sebagai menu sarapan sangat berperan besar jika digunakan sebagai salah satu manajemen untuk menurunkan berat badan. Sebagai tambahan penguat bahwa telur sangat baik untuk diet, berikut fakta tambahannya : 1) Telur, dalam banyak penelitian disebutkan dapat membantu kita mengontrol porsi makan. Dalam satu butir telur yang biasa kita konsumsi mengandung kurang lebih 78 kalori. Dengan pengetahuan kandungan kalori dalam telur, orang biasa mulai menghitung berpa banyak mereka bisa mengkonsumsi telur setiap harinya; 2) Kandungan protein dalam telur cukup tinggi. Dalam sebutir telur rata-rata memiliki kandungan protein 6,5 gram yakni mewakili sekitar 13 persen kebutuhan orang dewasa akan protein dalam sehari; 3) Mengandung vitamin D yang dibutuhkan tubuh. Tak hanya mengandung protein saja, telur juga mengandung vitamin D. pada tubuh orang-orang yang mengalami kelebihan berat badan, kandungan vitamin D dalam tubuhnya biasanya rendah. Padahal vitamin D ini sangat diubutuhkan untuk menurunkan risiko terkena penyakit jantung dan juga diabetes.

Jadi tak hanya baik untuk menurunkan berat badan, sarapan telur juga sangat baik untuk kesehatan.
Yuk, mulai sekarang, perbanyak sarapan telur.


Kisah di balik lagu "It Is Well With My Soul"

Salah satu lagu inspirational yang membuatku meneteskan airmata ketika pertama kali mendengarnya. Syair-nya begitu menyentuh, khususnya kalimat "It is well with my soul". Karena penasaran, aku memanfaatkan google untuk mencari tahu siapa pencipta lagu tersebut dan ternyata ada kisah luar biasa di balik terciptanya lagu yang indah dan penuh semangat iman ini. Lirik lagu "It is well with my soul" ditulis oleh Horatio Spafford sementara musiknya dibuat oleh sahabatnya, Philips Paul Bliss. 

Horatio G. Spafford lahir pada 20 Oktober 1828 di Lansungburgh, New York. Dia adalah seorang pengacara sekaligus pengusaha sukses di Chicago.  Horatio mempunyai seorang istri, Anna Spafford, dan 5 orang anak (1 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Pada tahun 1860-an keluarga Spafford merupakan salah satu keluarga yang terpandang di Chicago. Horatio mendapatkan keuntungan besar dari investasinya dalam reasl estate di sepanjangan tepi danau Michigan. Walaupun hidupnya serba serba berkelimpahan keluarga Spafford sangat aktif dalam kegiatan gereja sebagai seorang jemaat setia Presbysterian. 

Namun, kehidupan tidak selamanya membahagiakan bagi keluarga Spafford. Tragedi pertama terjadi pada tahun 1870 ketika putra satu-satunya, yang waktu itu berusia 4 tahun, meninggal akibat demam berdarah. Ketika belum sepenuhny apulih dari kesedihan akibat kehilangan putra tunggalnya, tragedi kembali melanda keluarga Spafford. Tahun 1871 terjadi sebuah kebakaran besar di Chicago (Great Chicago Fire) yang menyapu habis semua aset-aset real estatenya sehingga perusahaannya pun akhirnya bangkrut. Tidak berdiam diri dan jatuh dalam depresi, Horatio kembali usahanya sambil membantu sesama warga Chicago lainnya yang kehilangan tempat tinggal. 

Ketika keadaan agak mulai membaik, Horatio berencana membawa keluarganya berlibur ke Eropa untuk menenangkan diri. Pada tahun 1873, sahababatnya sekaligus seorang penginjil besar Amerika bernama D.L. Moddy berencana untuk mengadakan pertemuan penginjilan di Inggris sehingga Horatio membawa istri serta keempat anak perempuannya untuk mengikuti pertemuan tersebut. Keluarga Spafford bersiap untuk berlayar ke Inggris menaiki kapal uap Perancis bernama Vile du Havre dari pelabuhan New York dengan melintasi samudera Atlantik. Akan tetapi, sesaat sebelum kapal meninggalkan pelabuhan, Horatio terpaksa harus menunda keberangkatannya karena ada urusan bisnis yang sangat penting dan tidak bisa ditunda. Istri dan keempat anaknya tetap berangkat dan Horatio berjanji akan segera menyusul setelah urusan bisnisnya selesai. 

Pada malam tanggal 22 November 1873, tragedi kembali menerpa keluarga Spafford, kapal Vile du Havre yang mereka tumpangi bertabrakan dengan kapal besi Inggris,The Loch Earn. Hanya dalam tempo 12 menit Vile du Havre tenggelam dan menewaskan 226 penumpang, termasuk keempat putri Horatio : Annie, Maggie, Bessie dan Taneta. Anna Spafford termasuk salah satu dari 47 orang yang selamat. 

Anna yang selamat dari kecelakaan kapal tersebut mengisahkan saat-saat terakhir ketika tragedi itu merengut nyawa keempat putrinya : "Aku merasa seperti tersedot dengan keras ke bawah. Bayi taneta terlepas dari tanganku karena benturan dengan beberapa puing kapal. Benturan itu begitu keras sehingga lenganku memar parah. Aku mencoba menggapai untuk menangkap bayiku dan berhasil menangkap gaunnya, namun sesaat kemudian ombak menghantam dan merobek baju yang kugenggam dan menghempaskan bayiku dari tanganku selamanya."  Kedua putrinya yang lain, Maggie dan Annie ditolong oleh seorang pemmuda, penumpang kapal yang berhasil mengapung dengan sepotong kayu. Ia berenang mendekati kedua gadis itu dan menyuruh mereka menggenggam kedua sisi bajunya sambil mencoba mencari papan yang cukup besar untuk mereka bertiga. Setelah berjuang sekitar 30-40 menit di laut, mereka berhasil mendapatkan papan yang cukup besar dan pemuda itu berusaha membantu kedua gadis Spafford untuk naik ke papan. Tetapi ia melihat tangan mereka yang menggenggam bajunya mulai melemah dan mata mereka tertutup. Tubuh kedua gadis yang sudah tidak bernyawa lagi itu perlahan mengambang menjauh dari tubuh si pemuda yang juga lumpuh akibat kecelakaan tersebut. Tidak ada yang tahu apa yang terjadi pada putri Stafford yang bernama Bessie. 

Dengan tubuh penuh memar dan luka, Anna Spafford berhasil diselamatkan, namun semua rasa sakit yang dideritanya tidak sepanding dengan kepedihan hati akibat kehilangan keempat putrinya. Pastor Nathaniel Weiss, salah seorang penumpang yang juga selamat dari kecelakaan kapal tersebut mendengar Anna berkata, "Tuhan memberiku empat anak perempuan. Sekarang mereka diambil dariku. Suatu hari nanti aku akan mengerti mengapa ..." Anna benar-benar hancur, namun dalam kesedihan dan keputusasaannya, ia mendengar suara lembut berbicara kepadanya, "Engkau diselamatkan untuk suatu tujuan." Anna teringat seorang teman pernah berkata, "Sangat mudah untuk bersyukur ketika engkau memiliki segala sesuatu, tetapi melupakan Tuhan dan hanya mengingatNya saat berada dalam masalah."

Sembilan hari setelah diselamatkan dan tiba di Cardiff, Wales, Anna mengirimkan telegram kepada suaminya. Telegram itu berisi kalimat : "Saved alone. What shall I do?" (aku sendiri yang selamat, apa yang harus kulakukan?)  Horatio bergegas menuju Inggris untuk menemani Anna dan berada di sisinya dalam masa-masa berat tersebut. 

Dalam perjalanan menuju Inggris, kapten kapal menunjukkan lokasi dimana kapal Vile du Havre tenggelam yang menewaskan empat putri Horatio. Malam itu Horatio tidak dapat tidur. Berjam-jam lamanya ia merenungkan dan mengingat semua tragedi yang terjadi pada keluarganya dan keempat putrinya yang meninggal di tengah-tengah samudera Atlantik itu. Dalam keadaan hati yang hancur, Horatio menulis pada secarik kertas, "It is well, the will of God be done." (Hal ini baik, kehendak Tuhan, terjadilah). Dia atas kapal inilah Horatio kemudian menulis hymne "It is well with my soul" yang jika diterjemahkan : Jiwaku sanggup menerima (cobaan ini) atau dalam terjemahan bebas : Jiwaku baik-baik saja (walau didera penderitaan). Ketika bertemu kembali dengan istrinya, ia berkata, "Kita tidak kehilangan anak-anak kita. Kita hanya berpisah dengan mereka untuk sementara."

Horatio membawa Anna kembali ke Chicago untuk memulai kembali kehidupan mereka. Tuhan mengaruniai mereka dengan tiga orang anak. Putra mereka yang lahir pada tahun 1876 diberi nama Horatio untuk mengenang putra mereka yang telah meninggal.  Pada tahun 1878 Horatio dan Anna dikaruniai seorang putri yang diberi nama Bertha dan dua tahun kemudian, 1880, lahirlah Grace. Tragisnya, ketika Horatio kecil berusia 4 tahun, ia juga meninggal karena penyakit demam seperti kakak lelakinya. Belum hilang kepedihan akibat wafatnya Horatio kecil, jemaat gereja mengucilkan mereka dengan alasan, "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan keluarga Spafford sehingga banyak tragedi menimpa mereka." 

Karena tidak lagi diterima jemaat di gerejanya, pada bulan September 1881, Horatio membawa keluarganya menuju Yerusalem untuk menetap di sana. Bersama beberapa kawan yang juga ikut pindah bersamanya, 
Horatio memulai sebuah kelompok pelayanan yang kemudian dikenal sebagai "American Colony." Mereka melayani orang-orang yang kekurangan, membantu orang miskin, merawat orang sakit dan menampung anak-anak tunawisma. Tujuan mereka hanyalah untuk menunjukkan kasih Yesus kepada sesama yang menderita. Novelis Swedia, Selma Ottiliana Lovisa Lagerlof menulis tentang pelayanan yang dilakukan kelompok ini dalam novelnya berjudul "Yerusalem." Novel tersebut berhasil memenangkan hadiah Nobel. 

Horation Spaffor meninggal karena malaria pada 16 Oktober 1888 di Yerusalem. Anna Spafford terus bekerja di daerah sekitar Yerusalem sampai kematiannya pada tahun 1923. 


Putri Horatio, Bertha Spafford Vester, menulis kisah ini dalam bukunya "Our Yerusalem" : "Di Chicago, ayah mencari penjelasan tentang hidupnya. Hingga saat ini, semuanya mengalir dengan lembut seperti sungai. Kedamaian rohani dan keamanan telah menopang awal hidupnya, kehidupan keluarganya, tempat tinggalnya ... orang di sekelilingnya bertanya-tanya, 'kesalahan apa yang menyebabkan terjadinya tragedi beruntun pada Horatio dan Anna Spafford?' ... tapi ayah yakin bahwa Allah baik dan ia akan melihat anak-anaknya lagi di surga nanti. Hal ini menenangkan hatinya. Bagi ayah, keadaan itu seperti melewati 'lembah bayang-bayang maut', tapi imannya bangkit dan kuat. Di laut lepas, dekat tempat dimana anak-anaknya tewas, ayah menulis hymne yang menenangkan banyak orang."  

Ini adalah sebuah lagu yang penuh kekuatan, kedamaian dan pengharapan.

When peace, like a river, attendeth my way,
When sorrows like sea billows roll,
Whatever my lot, 
Thou has taught me to say,
It is well, it is well, 
with my soul.

It is well, with my soul.
It is well, with my soul.
It is well, it is well,
with my soul.

Though Satan should buffet, though trials should come,
Let this best assurance control
That Christ has regarded 
my helpless estate,
And hath shed His own blood 
for my soul.

My sin, oh, the bliss of this glorious thought!
My sin, not in part but the whole
Is nailed to the cross, and I bear it no more,
Praise the Lord, praise the Lord, oh my soul.

And Lord haste the day when my faith shall be sight,
The clouds be rolled back as a scroll,
The trump shall resound, and the Lord shall descend,
Even so, it is well with my soul.

It is well, with my soul. It is well, with my soul.
It is well, it is well, with my soul.



Sunguh sebuah kisah penuh inspirasi yang meneguhkan iman. Tragedi yang datang bertubi-tubi tidak melemahkan iman, tetapi semakin kuat berpegang pada Tuhan, berserah dan percaya bahwa Tuhan tahu yang terbaik, apapun itu, pastilah baik bagi jiwaku. 


(diambil dari berbagai sumber)