Tuesday, September 20, 2011

Kami Baik-baik Saja

Jhon ikut merasa sedih untuk putranya, Brian, dan tim basket kelas lima-nya. Di pertandingan kompetisi bola basket sekolah pada musim gugur yang lalu tim basket mereka mempunyai rekor yang mematahkan semangat, 0-6, dan selisih angkanya juga kurang baik. Mereka biasanya kalah dengan selisih 30 atau 40 poin. 

Tidak perlu suatu keahlian khusus untuk melihat masalahnya. Dibanding dengan tim lain pada kompetisi sekolah itu, tim basket Brian terdiri dari anak-anak berbadan lebih kecil, bergerak lebih lambat, dan kurang pengalaman.  Jhon kuatir putranya akan menjadi patah semangat, tapi sepertinya Brian dan teman-teman setimnya menyukai setiap latihan dan tetap bersenang-senang setelah setiap pertandingan. 

Setelah usai pertandingan yang, lagi-lagi, dimenangkan oleh tim lawan, Jhon bertanya pada putranya, "Brian, mengapa kalian terlihat selalu bergembira, padahal tim kalian selalu kalah?" 

Jawaban Brian membuat Jhon tercekat, "Oh, Papa, kami memang selalu kalah dalam setiap pertandingan, tetapi kami berhasil mencapai target kami, yaitu mendapatkan 12 poin dan menjaga agar selisih angka kami dari tim lawan dbawah 50 poin. Kami sadar kok kalau tim kami semuanya anak-anak kelas lima dan tim lain kebanyakan kelas enam. Jadi, menurutku, kami baik-baik saja!"

Siapa bilang kita harus hidup dengan sistem pengukuran orang lain? Tak bisakah kita menetapkan standar kita sendiri? Tak bisakah kita memutuskan untuk melihat diri kita sebagai sosok yang sukses, bukan yang gagal? 

Kita bisa membunuh kemampuan untuk belajar dan berkembang jika selalu membandingkan diri kita dengan orang lain dan merasa bahwa kita tidak pernah cukup baik. Yang membuat proses pembelajaran dan perkembangan tumbuh subur adalah keyakinan bahwa kita tidak harus selalu menjadi yang terbaik, tetapi cukup kita berusaha sebaik-baiknya. Brian dan tim basketnya telah mengajarkan hal itu. 


Little Girl's Compassion

Hari minggu ini sangat mengesalkan. Aku menggerutu karena seharian ini aku merasa banyak orang yang tidak bersahabat denganku dan banyak hal yang telah kurencanakan tidak berjalan dengan baik.  Kedua putriku, Emmy dan Alice sedang menarik-narik lengan kemejaku ketika kami berjalan menuju toko mainan. Mereka merengek minta 25 sen untuk menaiki kuda mekanis di depan toko. Aku menyerah dan memberi mereka  masing-masing 25 sen. 

Kuda mekanis itu merupakan mainan yang populer bagi anak-anak, dan karena banyak yang ingin menaikinya, mereka harus sabar mengantre.  Aku melihat Alice, yang saat itu berusia 5 tahun, harus menunggu 10 menit sementara saudarinya, Emmy, dan anak-anak yang lain menaiki kuda makanis itu. Akhirnya tibalah giliran Alice, tetapi bukannya menaiki kuda itu, ia malah menghampiri seorang anak laki-laki kecil yang sedang berdiri menonton permainan itu. Dengan kepekaannya yang polos ia mengetahui bahwa anak laki-laki itu tidak mempunyai uang. Maka, ia memberikan koinnya kepada anak kepada anak itu dan menyuruhnya naik. 

Aku tahu bahwa Alice sangat ingin sekali meniki kuda mekanis itu dan ia sudah menunggu dengan sabar untuk menaiki kudatungganyan yang sangat berarti baginya itu. Rasa kasih sayang dan ketulusan yang ditunjukkanya telah mengubah seluruh hatiku. "Bagaimana aku bisa begitu egois dan penggerutu," pikirku, "jika seorang anak kecil baru saja menunjukkan kepadaku bagaimana dunia itu seharusnya?'

Alice tidak pernah menceritakan hal itu kepada orang lain dan ia juga tidak pernah tahu bahwa aku melihatnya. Dia tidak pernah tahu betapa berharganya anugerah yang telah diberikannya kepadaku saat aku melihatnya berdiri dan tersenyum sayang ketika anak laki-laki itu menaiki kudanya.